Aurel Amalia
Aurel Amalia › Cerpen

on Friday 18 September 2015

Rain Part 7

FansPage : Khayalan

Hari yang dinantikan hampir tiba. Tinggal besok Eta akan melangsungkan pernikahannya . Semua perlengkapan sudah siap. Dekorasi. Perias. Catering. Tempat. Dan kedua calon mempelai. Dengan?
.
.
.
.
.
Dengan Ferry Ramadhan.
~0~
.
.
.
.
.
Biasa aja kali bacanya. Bukan sama Ferry kok.
.
.
Eta bakalan nikah sama anak ustadz namanya Hamid. Wehhh anak ustadz sob. Gini nih ceritanya.
.
.
Flashback on
Rain dan Aji belum pulang Siang ini. 13.00. Ada les tambahan dari sekolah. Paling nanti sore mereka pulang dan bisa nengok Eta.
Eta membuka matanya pelan . Dilihatnya jendela besar terang membelalak mata di sampingnya. Eta bingung bahwa di rumah Rain tidak ada jendela sebesar itu. Menyipitkan matanya menghadap sisi lain ruangan yang saat ini di tempatinya. Infus yang menetes kecil membawa selang bening yang tertancap di punggung tangannya. Sofa coklat panjang di pojokan dengan meja kecil bertempat vas bunga. Dan AC tepat diatasnya. Sekarang Eta mulai sadar ini bukan kamarnya. Ini rumah sakit. Kembali mengusap matanya , mencari keseimbangan untuk duduk diatas ranjang biru itu.
Kini dia diam. Mencoba mengatur nafasnya. Merasakan angin panas yang silih berganti masuk. Dan merasakan sakit di hatinya. Ya. Sakit sekali. Semakin lama hatinya semakin sakit. Eta menangis merasakan sakit itu. Hatinya telah sakit karena alkohol yang mengendap dalam hatinya.
"Sakitt.."Eta berhasil meraih gelas di meja kecil disampingnya. Tangannya gemetar untuk meminum segelas air putih itu. Ah sial.
Airnya tumpah di selimut biru rumah sakit. Eta kini menaruh kembali gelas itu dilihatnya tempat bundar di dekat gelas.
Ia meraihnya. Dibukanya bubur buatan Rain tadi pagi.
"Pasti Rain. Makasih Ra" ia memakan bubur itu. Lidahnya terasa pahit merasa bubur Rain yang tidak pahit harusnya (?). Ia memaksakan dan hampir memakan 3/4 bubur itu. Hatinya terasa sakit lagi dan perutnya kini mulai mual.
"Ya tuhan. Sakit apa aku ini? Sakit sekali tuhan.sakitt.."
Rain menjatuhkan kotak makan itu. Bergelayut meraih ujung infus dan menbawanya ke kamar kecil dengan tergopoh gopoh. Perutnya seperti digiling layaknya dading.
Ia membasuh wajah pucatnya . Ia tak ingin berada di kamar itu. Sesak. Tak ada udara segar Hanya panas terik pantulan jendela dan AC. Ia keluar dan duduk sebentar di sofa. Eta hanya diam pandangannya memutari semua bilik sampai akhirnya ekor matanya mendapati buku tebal panjang di ujung sofa.
"Foto Rain? Pasti ini bukunya ketinggalan" ia mengambilnya dan hendak menaruhnya di loker, tapi tiba tiba ia mengurungkan niatnya. Menatap lekat lekat foto Rain sebagai sampul dan membukanya. Ia tersenyum, tertawa geli, bahkan terharu dan juga kaget. Ia kaget. Di akhir catatan. Ada tulisan tangan Rain dengan foto Eta. Matanya terbelalak saat membaca tulisan itu.
Dear Eta.
Sahabat baru gue. Gue tahu ini cobaan terberat buat lo. Gue nggk tau gimana lo bisa nglakuin hal seceroboh itu.
Dikata lo bego. Dikit sih
Dikata lo tu cantik . Emang sih
Dikata lo gila. Iya sih
Hah..gue bingung ma lo
Gimana bisa lo punya penyakit kayak gitu.
Tensi darah tinggi ,hati , tumor, rahim lo. Dan yang bikin gue nggak abis pikir. Lo hamil Ta. Ada bayi di perut lo.
Moga aja lo bisa kembali kejalan yang bener. Doa gue selalu ada buat lo.
Love.
Rain~
Eta menjadi sesak. Kini pandangannya kabur oleh air yang sudah dari tadi meluncur membasahi pipinya.
'Gue hamil?gimana bisa?gue kan ngga-..' tenggorokannya tercekat mengingat sesuatu yang buruk. 'Rio..lo tu ya. Cowo (sensorkata),'dalam hati Eta mengumpati Rio. Eta menangis sejadi jadinya. 'Mama..papa. maafin Eta.'. Iya merasa begitu sakit. Semua. "Ya tuhan..".
.
.
.
Eta kini berada di bangku taman rumah sakit. Matanya sembab. Bibirnya pucat. Pandangannya kosong. Menatap taman bunga tulip yang cukup luas. Ia menghela nafasnya panjang memejamkan matanya dan membiarkan pikirannya tenang sejenak.
"Heii" sapa siluet seorang laki laki dari belakang Eta. Eta tak menjawabnya. Ia tetap tenang dengan posisinya. Dan cowo itu tiba tiba duduk di sampingnya.
"Sebaiknya lo pergi. Jangan deketin gue" kata Eta membuka matanya dan menatap cowo asing di sampingnya itu.
"Gue nggak mau pergi. Gue tau lo --" belum selesai bicara Eta langsung pergi.
"Lo nggak mau pergi? Gue yang pergi"
"Lo bisa pergi dari sini. Tapi lo nggak bisa pergi dari kenyataan. Lo harus terima. Dan harus perbaiki semua --" cowo itu berdiri dan langsung pergi meninggalkan Eta.
Eta tersenyum kecut dan berbalik badan. "Lo bisa bilang gitu. Ngejalaninnya lebih susah"
"Nggak susah kalo lo bener beber mau tobat . Jaga tuh bayi. Jangan diapa apain" kini siluet cowo asing itu sudah hilang pergi jauh.
Eta mengernyitkan alisnya. Bagaimana cowo itu tau?. Eta berjalan pelan mencoba mengikutinya. Dia sudah berkeliling rumah sakit dan belum menemukannya. Hingga Eta tiba di sebuah tempat yang berbeda, sisi lain rumah sakit yang begitu sepi. Tak ada satu orang pun kecuali Eta. Eta berjalan kedepan, melihat kolam ikan koi yang indah, ia terus berjalan ke depan hingga ia menemukan seseorang yang dicarinya meletakkan tubuhnya di rumput rumput.
"Nggapain lo disitu?" Tanya cowo itu tanpa menoleh ke Eta.
"Gimana lo bisa tau? Lo malaikat yang mau cabut nyawa gue?" Tanya Eta yang kini ikut mendekat.
"Hahaha.. bukan Ta. Gue bukan malaikat pencabut nyawa. Gila aja lo" cowo itu malah terkekeh mendengar pertanyaan Eta.
"Lo tau nama gue?" Eta duduk disampingnya membiarkan kakinya yang lelah berjalan itu lurus.
"Gue tau. Rio kan?"
"Lo kenal Rio? Jangan jangan lo komplotannya Rio?" Tanya Eta agak tinggi yang membuat cowo itu duduk.
"Bukan Ta. Oh ya kenalin . Gue Hamid. Hamid Al Qhosim. "
Menatap Eta tersenyum. Dalam cerita, kali ini Hamid tidak memiliki lesung pipit. Namun memiliki taring yang cukup panjang. Atau lebih mirip gingsul.
Eta tersenyum. Ia belum puas dengan jawaban cowo bernama Hamid-itu.
"Gue anaknya pak Fatih komplek sebelah rumah lo" kata Hamid .
"Pak Fatih? Ustadz pemilik pondok pesantren itu? Lo anaknya? Kok nggak meyakinkan?" Eta menatap lekat lekat wajah Hamid .
"Iya. Iya. Iya. Masa nggak mirip?" Kini tangannya membentuk centang dan menaruhnya di bawah dagu.
"Kenapa lo nggak pake peci ama koko? Mana tasbih lo?"
"Iya kali. Emang anak ustadz harus pake peci ama koko? Nggak boleh pake kaos? Nih tasbih" mengeluarkan tasbih biru kecil dari sakunya.
"Boleh sih. Btw. Lo belum jawab pertanyaan gue"
"Rio tu temen SMP gue. Dan gue liat lo pingsan di bopong Rio dari club. Dan gue yakin Rio nggak bakal langsung nganter lo pulang malem itu" jawab Hamid yang dengan jelas bla bla bla bla.
"Gue malu sama lo,gue emang cewe --" belum selesai Eta menundukan kepalanya.
"Iya. Gue juga." Sahut Hamid sambil tersenyum sendiri.
"Kenapa?"
"Ketemu elo. Gue kan jadi deg degan . Dan jangan bilang pipi gue sekarang merah" pipi anak ustadz itu benar benar memerah.
Eta hanya tersenyum. Itu kata yang sama dikatakan oleh Rio maupun Ilham.
"Gue belum cinta sama lo. Tapi seandainya gue udah cinta sama lo . Boleh nggak gue nglamar lo?" Tik. Titik. Gila langsung to the point.
"Hahaha nggak usah becanda deh lo. Gue ini cewe gila . Nggak waras. Sedangkan lo? Anak ustadz yang Alim. " Eta terkekeh menjawab pertanyaan anak ustadz itu.
"Gue tau lo gila. Gue juga tau lo nggak waras . Makanya gue mau ngewarasin lo pake ini" Hamid menunjuk dadanya. (Read::hatinya).
"Gue udah nggak punya hati"
"Makanya Eta. Gue mau ngasih sepenuhnya hati gue ke elo . " Hamid kini tertawa garing menatap Eta.
"Lo tu cowo bodo banget sih. Mau mau nya sama gue. Gue kan udah nggak--" belum selesai Hamid langsung mendeham .
"Ehhmm. Makanya lo harus minta maaf ke gue udah buat gue bodo gara gara lo"
"Basi" Eta mengusap air matanya sambil menunduk.
"Susah ya ngomong sama cewe nggak waras. Ya udah deh. Nih biar nanti kalo gue udah cinta sama lo. Lo nya udah waras" Hamid memberikan tasbih biru yang sedari tadi di genggamnya. Dan langsung pergi .
"Wasalamu'alaikum"
"Wa alakum salam"
Eta kini tau . Dia akan bertasbih setiap saat agar hatinya tentram. Dan sesaat kemudian sakit itu muncul lagi. Dan bedanya Dokter kini sudah di belakang Eta bersama Rain dan Aji.
"Ta. Lo tu jangan kemana mana dulu. " suara khas Rain sambil menuntun Eta berjalan kembali ke kamarnya.
.
.
.
.
"Ya Allah. Terima kasih." Eta memeluk tasbih biru sambil bertasbih menyebut nama-Nya . Malam ini Rain sudah tertidur pulas di sofa sedangkan Aji tertidur di karpet kecil di depan sofa.
Seperti mendengar suara Hamid menggema. Mengucap... 'Ta aku sudah mencintaimu'.
Eta tersenyum mendengar khayalan suara Hamid. Berkhayal tentang lamaran itu. Dan pernikahanya yang suci.
Saat ini Eta tidak akan melanjutkan sekolahnya. Ia juga akan belajar . Belajar menjadi wanita yang baik.
.
.
.
.
Paginya Rain terbangun lebih awal. Dilihatnya 2 sahabat yang masih terlelap. Ia akan sholat subuh. Tapi ada ketukan pintu . Rain mencoba menyadarkan dirinya dari kantuk pagi yang dingin ini.
Di bukanya pintu dan itu adalah Hamid .
"Assalamu'alaikum. Eta-nya ada?"tanya Hamid pelan.
"Wa'alaikumsalam. (Jarinya menujuk Eta yang masih terlelap). Maaf anda siapa?" Tanya Rain curiga.
"Saya Hamid. Calon imamnya Eta" Hamid tersenyum senyum.
"Calon? Mau apa pagi pagi gini?" Tanya Rain yang bingung.
"Mau ngajak Eta sholat subuh"
"Oh. Tunggu aja di mushola nanti Eta nyusul"
"Iya. Makasih. Wassalamu'alaikum" Hamid pergi menuju mushola.
"Wa'alaikumsalam".
.
.
"Ta bangun. Sholat subuh. Tadi lo di cariin Hamid" Rain menggoyang goyangkan tubuh dingin Eta.
"Ta???" Rain menempelkan Telinganya di dada Eta. Dan ia masih mendengar detak jantung Eta yang tak beraturan. Eta bergerak gerak
"Hamid mana?" Tanya Eta tiba tiba.
"Nunggu lo di mushola. Sholat subuh"
Eta langsung beranjak ke posisi duduk dan mencoba mencari kesadarannya. Dan kewarasannya dulu.
Sedangkan Rain membangunkan Aji untuk ikut serta.
.
.
"Assalamu'alaikum warah matullah .Assalamu'alaikum warah matullah" salam sholat imam . Alias Hamid.
Dan di ikuti jamaah lain. Termasuk Eta, Rain, dan Aji.
Saat semua keluar . Hamid langsung menghampiri Eta dan berkata.
"Gue udah cinta sama lo. Kalo lo udah pulang dari rumah sakit. Gue bakal bawa Abah je rumah lo buat nglamar lo . Wassalamu'alaikum" Hamid langsung Pergi. Eta tersenyum senang. Merasa bahwa dirinya masih beruntung di cintai oleh seseorang yang baik hati dan tulus. Dan dengan waktu 15 jam.
.
.
.
Itulah pertemuan pertama yang tak terduga , Eta dalam keadaan mabuk. Pertemuan kedua yang sungguh tak kira Hamid akan menuntun wanitanya agar menjadi lebih baik (read: waras). Dan pertemuan ketiga yang tak akan pernah terlupakan Hamid sudah mencintai Eta dan segera melamarnya. Pertemuan ke empat dan kelima . Masih Rahasia.
Flashback off.
"Rain doain gue. Maafin gue. "Eta memeluk Rain dengan eratnya.
"Always Ta".
"Wish you all the best. I love you guys" sahut Aji dan mereka bertiga berpelukan .
.
.
.
.
Hari haq.
Pengantin pria dengan dengan jas cream dasi kupu kupu dan kupluk (read:peci) sudah siap.
Sedangkan pengantin wanitanya. Gaun panjang cream memakai kerudung senada . Dirias cantik . Sangat cantik , berjalan didampingi Ayah Aji , pak Gunawan Pangestu sebagai wali pengganti ayah Eta.
Dekorasi dan adat bernuansa jawa kental sekali. Rain mengenakan kebaya hijau muda dengan konde cantik di kepalanya . Aji? Dia hanya memakai jas hitam dan dasi. Tapi tak kalah , tetep cool.
.
.
"Saya terima nikah dan kawinya Deta Heruanda binti Heru Admaja dengan seperangkat alat sholat dan mas kawin 123 ribu rupiah dibayar tunai" dengan lantang dan pasti Hamid Al Qhorim mengikrarkan janji suci pada wanitanya.
"Sah?" Tanya penghulu.
Sahhhhh.. serempak semua yang hadir seperti koor.
"Alhamdulillah"..
.
.
.
Lihatlah Fer. Sekarang mereka sudah menikah. Bahagia. Aji sedang dalam masa pencarian. Dan aku masih dalam masa penantian . Aku mencintaimu Fer.aku merindukanmu Fer. Ku harap kau juga rasakan hal yang sama. Kau Ferry Ramadhanku..
.
.
.
===END==
Part 8 Next Post